Senin, 31 Desember 2012

Mawar untuk Kinanti

Setangkai bunga mawar kudapati di meja kantorku pagi ini. Tanpa nama pengirim. Pada sepotong kertas memo tertulis dengan huruf komputer, “Happy Birthday, Kinanti.”

Aku bukan orang pertama yang datang di kantor pagi ini. Teman-teman yang tiba lebih dulu mengaku tidak mengetahui siapa yang menaruh bunga itu di mejaku. Bahkan, office boy pun mengatakan tidak tahu. Inilah hari ulang tahunku yang ke-30, yang pertama kali kualami di kantor ini.
Artinya, belum satu tahun aku menjadi karyawati di sini. Dan, saat ini pulalah untuk pertama kalinya dalam hidupku ada orang mengirimiku setangkai bunga.
“Dia pasti pria yang menyayangimu, Kin,” kata Lies, teman kantorku.
“Aku justru penasaran, Lies. Apa iya sih, ada yang mau sama aku?”
“Eee… kenapa nggak? Kamu cantik, Kin. Kamunya aja yang selama ini tertutup sehingga laki-laki jadi takut mendekat. Kenapa, sih, kamu masih  terus melajang?”
Aku tertunduk. Tak ada kekuatan untuk menjawab pertanyaan   itu. Hanya aku yang tahu kenapa aku tetap bertahan dalam keadaan seperti ini. Aku pernah terjerembab di tikungan tajam kehidupan.
“Bisa dipastikan pengirim bunga itu adalah teman sekantor. Sebab, satpam bilang, pagi ini nggak ada orang luar yang datang,” kata Saskia, nimbrung.

Logika Saskia masuk akal. Aku mulai berspekulasi menerka-nerka. Sebagian besar pria di kantor kami sudah   menikah. Yang masih  melajang usianya lebih muda dariku. Hanya ada seorang pria yang usianya lebih tua, yaitu Mas Aris. Tapi, apa mungkin?

Mas Aris adalah sosok pria yang tidak sekadar kukenal, tetapi bahkan seperti abangku sendiri. Usianya mungkin dua atau tiga tahun di atasku. Ia teman sekampung, tetangga dekat, sekaligus kawan sepermainan semasa kanak-kanak di desa tempatku dilahirkan, di pedalaman Wonosobo. Ia anak bungsu dari tujuh bersaudara, sementara aku anak sulung dari dua bersaudara. Tatkala kami masih bocah, ia selalu melindungiku dari kenakalan bocah-bocah yang lain. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap hampir semua aspek kehidupanku. Ia juga begitu sayang  pada Lestari, adikku satu-satunya. Kedua orang tuaku sangat memercayai Mas Aris.

Ketika aku duduk di bangku SMA, Mas Aris kuliah di Yogya. Paling lama dua bulan sekali ia pulang hanya untuk sekadar bertemu denganku. Semua orang menyebut kami sepasang kekasih. Tapi, aku selalu membantah lantaran tak pernah ada pernyataan cinta dari Mas Aris. Karena itu, aku sendiri juga tidak punya keyakinan bahwa Mas Aris mencintaiku. Seperti juga diriku, sejauh itu Mas Aris tidak pernah punya pacar. Andaikata ada lelaki yang ingin memacariku, tentu aku bisa melihat apakah Mas Aris cemburu atau tidak, dan itu bisa kuanggap sebagai indikasi. Namun, karena semua mengira kami adalah sepasang kekasih, tak seorang laki-laki pun berani mendekatiku.

Berbeda dengan ketika aku sekolah di Surabaya, setamat SMA. Beberapa teman laki-laki mengerubutiku dalam waktu yang sama. Aku dan Mas Aris hanya sempat bertemu setahun sekali pada waktu Lebaran. Pada pertemuan kami terakhir, Mas Aris kaget melihat Dony, pemuda yang mengantarku mudik.
“Dia pacarmu ya, Kin?” tanya Mas Aris, dalam nada yang terdengar berat.
Aku tak ingin membohonginya. Aku mengangguk. Dan, semenjak itu kami tak pernah bertemu. Mas Aris sendiri tak lagi pernah mudik karena kedua orang tuanya sudah tiada. Saudara-saudaranya hidup berpencar di kota-kota lain.

* * *
Sore ini aku sengaja pulang kantor paling akhir karena memang lagi banyak pekerjaan. Ternyata, Mas Aris juga mengaku sedang lembur. Kuberanikan diri menemuinya di ruang kerjanya dengan membawa bunga mawar tadi.
“Bunga ini dari Mas Aris, ya?” tembakku, tanpa basa-basi.
Ia sedikit terperangah. Beberapa detik tampak gugup. Barangkali ia sedang berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Ya, Kin. Bunga itu dari aku. Kenapa?”
“Indah sekali, Mas. Aku suka. Makasih, ya, Mas.”
“Sudah lama aku ingin memberimu bunga. Baru sekarang ada momen yang tepat.”
“Oo,  ya? Penting banget, ya, pemberian ini?”
“Menurutku iya, Kin. Setidak-tidaknya penting buatku.”
“Tapi, kenapa Mas Aris nggak mencantumkan nama?”
“Seperti juga pertanyaanmu tadi, seberapa pentingkah namaku?”
“Setidak-tidaknya supaya aku nggak perlu datang menanyaimu, Mas.”
“Itulah salah satu pesonamu. Kamu selalu cerdas,” pujinya, tersenyum.

Tanpa terduga, Mas Aris meraih tanganku. Ia genggam telapak tanganku dengan kuat, seakan sudah terlalu lama ia inginkan. Pancaran matanya yang teduh itu menghujam kedua mataku dan kurasakan langsung menusuk hati. Entah kenapa, aku tak punya tenaga dan kekuatan untuk menarik telapak tanganku dari genggamannya.
“Kinanti,” bisiknya lembut. “Bunga mawar itu pada awalnya seperti mawar-mawar lain yang banyak dijual orang. Nggak ada istimewanya. Tapi, ia jadi sangat istimewa setelah kuberikan kepadamu. Kamu mengerti maksudku, ‘kan?”
Aku menggeleng. Sejak dulu Mas Aris memang suka merangkai kata yang berbunga-bunga seperti layaknya penyair. Ia memang berjiwa romantis.
“Mawar itu jadi istimewa karena ia sudah menjadi simbol. Ia sudah mewakili perasaanku, Kin. Apa masih perlu kujelaskan lagi?”
Entah kenapa, aku mengangguk.
“Barusan aku memujimu cerdas. Kenapa sekarang belum jelas juga? Pura-pura, ya?” godanya, dengan tatap matanya yang menggelisahkan jiwaku.
“Daripada aku menduga-duga dan ternyata salah, Mas. Betapapun, penjelasan Mas Aris akan jauh lebih memberikan kepastian.”
Mas Aris tersenyum manis. Kulihat ia menarik napas panjang, lalu perlahan-lahan mengembuskannya. Sepertinya ia perlu menata perasaannya sendiri.
“Aku mencintaimu, Kin. Sejak dulu!”
“Mas…!”
“Stop! Jangan berkata apa pun!” potongnya tangkas. “Aku memang ingin mendengar jawabanmu, Kin, tapi tidak sekarang, dan tidak pula di ruangan ini.”
Perlahan-lahan ia melepas tanganku. Harus kuakui, hatiku teraduk-aduk tak keruan. Kegelisahan meremas-remas jiwa, lantaran seketika itu aku teringat peristiwa yang terkelam dalam hidupku.

* * *
Dengan sangat terpaksa aku menyatakan tidak sanggup menerima cinta Mas Aris. Dan, dua minggu sejak pernyataanku itu, Mas Aris tak pernah lagi muncul di kantor. Hari ini aku mendapat penjelasan dari HRD bahwa ia sudah mengundurkan diri. Aku terenyak. Aku berani memastikan, ia mengundurkan diri karena cintanya tidak aku terima. Tapi, sekaligus aku tak habis mengerti, kenapa jalan itu yang ia tempuh.
Dengan membawa perasaan bersalah, aku mendatangi Mas Aris di tempat kosnya. Aku ingin bicara lebih jauh untuk meluruskan penolakanku agar tidak disalahartikan. Sebab, betapapun, Mas Aris adalah pria yang paling baik yang pernah kukenal, sekaligus berjasa besar telah membuatku mendapatkan pekerjaan yang memang kuidam-idamkan ini.
“Dia sudah nggak di sini. Malah empat hari yang lalu kamar kosnya sudah ditempati orang lain,” kata pemilik kamar kos.
“Ibu tahu ke mana dia pindah?”
“Wah, maaf. Dia nggak kasih tahu, tuh.”

Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Tubuhku serasa limbung. Aku seperti mendengar suara dari dalam batinku sendiri. Apa yang engkau cari, Kinanti? Kenapa kau tolak cinta Aris? Yakinkah bahwa engkau benar-benar tidak bisa mencintainya sampai kapan pun? Yakinkah kau bahwa Aris akan mencabut pernyataan cintanya setelah tahu jati dirimu? Engkau hanya tergilas oleh bayangan dan pikiran burukmu sendiri, Kinanti. Kesempatan tak akan datang dua kali, kecuali kalau Tuhan memang menghendakinya.
Suara-suara itu seperti menerorku sepanjang hari. Tapi, sisi lain dari pikiranku menyanggah bahwa keputusanku itu tidak terlalu salah. Sebuah keputusan yang punya landasan moral dan mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan. Layakkah cinta Mas Aris itu untukku? Perempuan yang punya kisah kelam dalam hidupnya?

Enam tahun yang lalu, sewaktu aku masih di Surabaya, ketika rasa percayaku terhadap Dony mencapai puncaknya, terjadilah pengkhianatan itu.  Atas nama cinta, aku hamil. Celakanya, Dony tidak mau bertanggung jawab. Ia hengkang entah ke mana, meninggalkanku begitu saja.

Aku terbanting. Terluka tanpa ada harapan. Terlalu takut membayangkan harus melahirkan bayi, lalu mengasuh anak tanpa suami. Aku tak berani mengadu kepada orang tuaku. Sebab, mereka memang tidak menyukai Dony. Aku tahu, ayah dan ibuku mengincar Mas Aris sebagai calon menantunya. Tapi, apa mau dikata, waktu itu Mas Aris sendiri tak pernah menyatakan cintanya kepadaku.

Keputusasaan yang sangat membuatku nekat. Aborsi. Tapi, aku gagal menemukan dokter yang mau melakukannya. Dari informasi yang kudapat, akhirnya aku menjumpai seorang bidan yang konon biasa melakukan aborsi.
“Ndak! Ndak mau! Ibu takut dipidana,” kata bidan itu, menolak.
Seluruh tabunganku kukeduk. Semua barang yang kumiliki, aku jual. Aku merengek-rengek, berjanji mau membayarnya mahal. Tapi, ya, Tuhan! Terjadi perdarahan hebat sehingga aku harus diangkut ke rumah sakit. Buntutnya, aku dikenai pasal 346 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun. Dan hakim mengetukkan palunya, penjara 2 tahun untukku, alias setahun lebih ringan dibanding vonis untuk Bu Bidan yang dijerat pasal 348 KUHP itu. Aku pun meringkuk di penjara wanita Surabaya. Orang tuaku di desa shocked mendengar semua itu.

Keluar dari penjara, aku ingin mengubur dalam-dalam masa laluku yang kelam. Kutinggalkan Surabaya untuk mengadu nasib ke Jakarta, di mana tak ada orang yang mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Lembaran baru hidupku kubuka. Aku sempat keleleran sebelum akhirnya diterima bekerja pada sebuah rumah biliar.

Di tempat ini aku bersinggungan dengan banyak lelaki. Namun, aku takut untuk jatuh cinta lagi, dan tak punya rasa percaya diri untuk dicintai. Setelah sempat pindah kerja sebagai lady escort di karaoke, aku diterima menjadi kasir di toko buku pada sebuah mal. Tujuanku jelas, untuk menghindari tangan-tangan jail lelaki. Kurasakan pekerjaan baruku ini lebih terhormat, meski aku tetap melamar ke sana-sini untuk bisa bekerja di kantoran.

Di toko buku itulah, pada suatu hari, secara kebetulan, aku bertemu dengan Mas Aris yang lagi belanja. Ia bertanya banyak tentang diriku. Aku menjawab apa yang merasa perlu kujawab, dan merahasiakan apa yang merasa perlu kurahasiakan. Aku yakin, ia juga berbuat hal yang sama untuk semua pertanyaanku.
“Pasti kamu pegawai baru di toko ini, ‘kan?” kata Mas Aris. “Aku tahu karena aku pelanggan tetap di sini, Kin.  Kamu betah kerja di sini?”
“Kenapa nggak? Pekerjaan ini halal, Mas.”
“Baguslah,” jawabnya. “Tapi, bagaimana kalau kamu bekerja saja di kantorku? Mungkin aku bisa bantu karena kebetulan saat ini perusahaan kami lagi perlu karyawan baru.”
Begitulah, sehingga kemudian aku diterima jadi karyawati di tempat Mas Aris bekerja.

* * *
Beberapa bulan setelah Mas Aris mengundurkan diri dari kantor kami, aku bertemu dengannya di toko buku yang sama. Jelas bukan kebetulan. Aku sengaja mencarinya dengan datang ke toko langganannya ini sedikitnya tiga kali dalam seminggu. Entah pada kedatanganku yang keberapa, petang ini aku berhasil.

Ia kaget ketika kutepuk bahunya dari belakang. Sepertinya ia tidak siap dengan pertemuan ini. Mas Aris jadi demikian gugup. Setelah bertegur sapa, ia berusaha menghindar. Tapi, aku tak mau membiarkannya pergi. Kutangkap lengannya dan kupegang kuat-kuat.
“Mas Aris, kok, kurusan?”
“Ya. Kamu juga kurus, lho, Kin,” jawabnya.
Mas Aris entah menjadi orang keberapa yang mengatakan aku sekarang kurus. Ingin kukatakan bahwa kurusnya tubuhku  tak lain akibat memikirkannya setiap hari. Kutarik lengan Mas Aris dan kubawa ia masuk kafe yang ada di mal ini. Dengan ketegaran yang kupaksakan, kutatap wajahnya dalam-dalam.
“Tolong jawab pertanyaanku, Mas. Kenapa Mas Aris pergi begitu saja?”
Ia balas menatapku. Matanya masih tetap teduh dan menusuk hati. Ia angkat gelas minumannya. Sejenak jari-jemarinya bermain di permukaan gelas. Ia menghela napas berat, lalu berkata, “Kinanti, setelah kamu tolak cintaku, jujur saja, aku tak punya kekuatan untuk setiap hari bertemu denganmu. Daripada jiwaku makin tersiksa, pergi adalah pilihan terbaik bagiku. Semoga jawabanku ini bisa memuaskanmu.”
“Tapi, kenapa Mas Aris tidak memberiku kesempatan bertemu sekali saja?”
“Untuk apa?”
“Yaah, mungkin untuk bertanya apa alasanku nggak bisa menerima cinta Mas Aris.”
“Yang kubutuhkan cintamu, Kinan. Bukan alasanmu!”
“Jadi, Mas Aris nggak ingin tahu kenapa aku nggak bisa menerima?” kejarku.
Ia mengapungkan senyum. Apa arti senyum itu, aku tak tahu. Tanpa diminta aku pun menjelaskan bahwa diriku tak pantas menerima cintanya yang agung itu. Dan, sederet masa silamku yang hitam, kuungkapkan kepadanya. Aku yakin ia akan kaget mendengar kisah hidupku itu. Tapi… aku keliru. Mas Aris hanya menatapku hampa, tanpa aksi dan reaksi. Aku terdiam kelelahan, seakan-akan seluruh energiku terserap habis karenanya.
“Aku sudah mendengar semuanya, Kinan,” ucapnya, datar. “Lestari, adikmu, sudah cerita ketika aku pulang kampung untuk ziarah ke makam orang tuaku.”
Ya, Tuhan! Justru aku yang sekarang dibuatnya kaget.
“Semua sudah kupertimbangkan. Tapi, toh, kamu menolak juga,” lanjutnya.
“Tapi… tapi… maukah Mas Aris memberiku kesempatan lagi?”
“Ada hal yang perlu kamu ketahui, Kinan. Usiaku sudah kepala tiga, bukan masanya lagi untuk mencari pacar. Yang kubutuhkan adalah calon istri. Andaikata tempo hari kamu menerimaku, bulan berikutnya kita menikah.”

Dalam perjalanan pulang dari mal, kugenggam erat telapak tangan Mas Aris,  tak ingin kulepas lagi. Kesempatan telah datang untuk kedua kali.

Nadjib Kartapati Z.

Sumber dari : Majalah Femina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar