Setangkai bunga mawar kudapati di meja kantorku pagi ini. Tanpa nama
pengirim. Pada sepotong kertas memo tertulis dengan huruf komputer,
“Happy Birthday, Kinanti.”
Nadjib Kartapati Z.
Sumber dari : Majalah Femina
Aku bukan orang pertama yang datang di
kantor pagi ini. Teman-teman yang tiba lebih dulu mengaku tidak
mengetahui siapa yang menaruh bunga itu di mejaku. Bahkan, office boy
pun mengatakan tidak tahu. Inilah hari ulang tahunku yang ke-30, yang
pertama kali kualami di kantor ini.
Artinya, belum satu tahun aku menjadi karyawati di sini. Dan, saat ini pulalah untuk pertama kalinya dalam hidupku ada orang mengirimiku setangkai bunga.
Artinya, belum satu tahun aku menjadi karyawati di sini. Dan, saat ini pulalah untuk pertama kalinya dalam hidupku ada orang mengirimiku setangkai bunga.
“Dia pasti pria yang menyayangimu, Kin,” kata Lies, teman kantorku.
“Aku justru penasaran, Lies. Apa iya sih, ada yang mau sama aku?”
“Eee…
kenapa nggak? Kamu cantik, Kin. Kamunya aja yang selama ini tertutup
sehingga laki-laki jadi takut mendekat. Kenapa, sih, kamu masih terus
melajang?”
Aku tertunduk. Tak ada kekuatan untuk menjawab
pertanyaan itu. Hanya aku yang tahu kenapa aku tetap bertahan dalam
keadaan seperti ini. Aku pernah terjerembab di tikungan tajam kehidupan.
“Bisa
dipastikan pengirim bunga itu adalah teman sekantor. Sebab, satpam
bilang, pagi ini nggak ada orang luar yang datang,” kata Saskia,
nimbrung.
Logika Saskia masuk akal. Aku mulai berspekulasi
menerka-nerka. Sebagian besar pria di kantor kami sudah menikah. Yang
masih melajang usianya lebih muda dariku. Hanya ada seorang pria yang
usianya lebih tua, yaitu Mas Aris. Tapi, apa mungkin?
Mas Aris
adalah sosok pria yang tidak sekadar kukenal, tetapi bahkan seperti
abangku sendiri. Usianya mungkin dua atau tiga tahun di atasku. Ia teman
sekampung, tetangga dekat, sekaligus kawan sepermainan semasa
kanak-kanak di desa tempatku dilahirkan, di pedalaman Wonosobo. Ia anak
bungsu dari tujuh bersaudara, sementara aku anak sulung dari dua
bersaudara. Tatkala kami masih bocah, ia selalu melindungiku dari
kenakalan bocah-bocah yang lain. Ia senantiasa menaruh perhatian besar
terhadap hampir semua aspek kehidupanku. Ia juga begitu sayang pada
Lestari, adikku satu-satunya. Kedua orang tuaku sangat memercayai Mas
Aris.
Ketika aku duduk di bangku SMA, Mas Aris kuliah di Yogya.
Paling lama dua bulan sekali ia pulang hanya untuk sekadar bertemu
denganku. Semua orang menyebut kami sepasang kekasih. Tapi, aku selalu
membantah lantaran tak pernah ada pernyataan cinta dari Mas Aris. Karena
itu, aku sendiri juga tidak punya keyakinan bahwa Mas Aris mencintaiku.
Seperti juga diriku, sejauh itu Mas Aris tidak pernah punya pacar.
Andaikata ada lelaki yang ingin memacariku, tentu aku bisa melihat
apakah Mas Aris cemburu atau tidak, dan itu bisa kuanggap sebagai
indikasi. Namun, karena semua mengira kami adalah sepasang kekasih, tak
seorang laki-laki pun berani mendekatiku.
Berbeda dengan ketika
aku sekolah di Surabaya, setamat SMA. Beberapa teman laki-laki
mengerubutiku dalam waktu yang sama. Aku dan Mas Aris hanya sempat
bertemu setahun sekali pada waktu Lebaran. Pada pertemuan kami terakhir,
Mas Aris kaget melihat Dony, pemuda yang mengantarku mudik.
“Dia pacarmu ya, Kin?” tanya Mas Aris, dalam nada yang terdengar berat.
Aku
tak ingin membohonginya. Aku mengangguk. Dan, semenjak itu kami tak
pernah bertemu. Mas Aris sendiri tak lagi pernah mudik karena kedua
orang tuanya sudah tiada. Saudara-saudaranya hidup berpencar di
kota-kota lain.
* * *
Sore
ini aku sengaja pulang kantor paling akhir karena memang lagi banyak
pekerjaan. Ternyata, Mas Aris juga mengaku sedang lembur. Kuberanikan
diri menemuinya di ruang kerjanya dengan membawa bunga mawar tadi.
“Bunga ini dari Mas Aris, ya?” tembakku, tanpa basa-basi.
Ia sedikit terperangah. Beberapa detik tampak gugup. Barangkali ia sedang berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Ya, Kin. Bunga itu dari aku. Kenapa?”
“Indah sekali, Mas. Aku suka. Makasih, ya, Mas.”
“Sudah lama aku ingin memberimu bunga. Baru sekarang ada momen yang tepat.”
“Oo, ya? Penting banget, ya, pemberian ini?”
“Menurutku iya, Kin. Setidak-tidaknya penting buatku.”
“Tapi, kenapa Mas Aris nggak mencantumkan nama?”
“Seperti juga pertanyaanmu tadi, seberapa pentingkah namaku?”
“Setidak-tidaknya supaya aku nggak perlu datang menanyaimu, Mas.”
“Itulah salah satu pesonamu. Kamu selalu cerdas,” pujinya, tersenyum.
Tanpa
terduga, Mas Aris meraih tanganku. Ia genggam telapak tanganku dengan
kuat, seakan sudah terlalu lama ia inginkan. Pancaran matanya yang teduh
itu menghujam kedua mataku dan kurasakan langsung menusuk hati. Entah
kenapa, aku tak punya tenaga dan kekuatan untuk menarik telapak tanganku
dari genggamannya.
“Kinanti,” bisiknya lembut. “Bunga mawar itu pada
awalnya seperti mawar-mawar lain yang banyak dijual orang. Nggak ada
istimewanya. Tapi, ia jadi sangat istimewa setelah kuberikan kepadamu.
Kamu mengerti maksudku, ‘kan?”
Aku menggeleng. Sejak dulu Mas Aris
memang suka merangkai kata yang berbunga-bunga seperti layaknya penyair.
Ia memang berjiwa romantis.
“Mawar itu jadi istimewa karena ia sudah menjadi simbol. Ia sudah mewakili perasaanku, Kin. Apa masih perlu kujelaskan lagi?”
Entah kenapa, aku mengangguk.
“Barusan
aku memujimu cerdas. Kenapa sekarang belum jelas juga? Pura-pura, ya?”
godanya, dengan tatap matanya yang menggelisahkan jiwaku.
“Daripada aku menduga-duga dan ternyata salah, Mas. Betapapun, penjelasan Mas Aris akan jauh lebih memberikan kepastian.”
Mas
Aris tersenyum manis. Kulihat ia menarik napas panjang, lalu
perlahan-lahan mengembuskannya. Sepertinya ia perlu menata perasaannya
sendiri.
“Aku mencintaimu, Kin. Sejak dulu!”
“Mas…!”
“Stop!
Jangan berkata apa pun!” potongnya tangkas. “Aku memang ingin mendengar
jawabanmu, Kin, tapi tidak sekarang, dan tidak pula di ruangan ini.”
Perlahan-lahan
ia melepas tanganku. Harus kuakui, hatiku teraduk-aduk tak keruan.
Kegelisahan meremas-remas jiwa, lantaran seketika itu aku teringat
peristiwa yang terkelam dalam hidupku.
* * *
Dengan
sangat terpaksa aku menyatakan tidak sanggup menerima cinta Mas Aris.
Dan, dua minggu sejak pernyataanku itu, Mas Aris tak pernah lagi muncul
di kantor. Hari ini aku mendapat penjelasan dari HRD bahwa ia sudah
mengundurkan diri. Aku terenyak. Aku berani memastikan, ia mengundurkan
diri karena cintanya tidak aku terima. Tapi, sekaligus aku tak habis
mengerti, kenapa jalan itu yang ia tempuh.
Dengan membawa perasaan
bersalah, aku mendatangi Mas Aris di tempat kosnya. Aku ingin bicara
lebih jauh untuk meluruskan penolakanku agar tidak disalahartikan.
Sebab, betapapun, Mas Aris adalah pria yang paling baik yang pernah
kukenal, sekaligus berjasa besar telah membuatku mendapatkan pekerjaan
yang memang kuidam-idamkan ini.
“Dia sudah nggak di sini. Malah empat hari yang lalu kamar kosnya sudah ditempati orang lain,” kata pemilik kamar kos.
“Ibu tahu ke mana dia pindah?”
“Wah, maaf. Dia nggak kasih tahu, tuh.”
Aku
pulang dengan perasaan tak menentu. Tubuhku serasa limbung. Aku seperti
mendengar suara dari dalam batinku sendiri. Apa yang engkau cari,
Kinanti? Kenapa kau tolak cinta Aris? Yakinkah bahwa engkau benar-benar
tidak bisa mencintainya sampai kapan pun? Yakinkah kau bahwa Aris akan
mencabut pernyataan cintanya setelah tahu jati dirimu? Engkau hanya
tergilas oleh bayangan dan pikiran burukmu sendiri, Kinanti. Kesempatan
tak akan datang dua kali, kecuali kalau Tuhan memang menghendakinya.
Suara-suara
itu seperti menerorku sepanjang hari. Tapi, sisi lain dari pikiranku
menyanggah bahwa keputusanku itu tidak terlalu salah. Sebuah keputusan
yang punya landasan moral dan mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan.
Layakkah cinta Mas Aris itu untukku? Perempuan yang punya kisah kelam
dalam hidupnya?
Enam tahun yang lalu, sewaktu aku masih di
Surabaya, ketika rasa percayaku terhadap Dony mencapai puncaknya,
terjadilah pengkhianatan itu. Atas nama cinta, aku hamil. Celakanya,
Dony tidak mau bertanggung jawab. Ia hengkang entah ke mana,
meninggalkanku begitu saja.
Aku terbanting. Terluka tanpa ada
harapan. Terlalu takut membayangkan harus melahirkan bayi, lalu mengasuh
anak tanpa suami. Aku tak berani mengadu kepada orang tuaku. Sebab,
mereka memang tidak menyukai Dony. Aku tahu, ayah dan ibuku mengincar
Mas Aris sebagai calon menantunya. Tapi, apa mau dikata, waktu itu Mas
Aris sendiri tak pernah menyatakan cintanya kepadaku.
Keputusasaan
yang sangat membuatku nekat. Aborsi. Tapi, aku gagal menemukan dokter
yang mau melakukannya. Dari informasi yang kudapat, akhirnya aku
menjumpai seorang bidan yang konon biasa melakukan aborsi.
“Ndak! Ndak mau! Ibu takut dipidana,” kata bidan itu, menolak.
Seluruh
tabunganku kukeduk. Semua barang yang kumiliki, aku jual. Aku
merengek-rengek, berjanji mau membayarnya mahal. Tapi, ya, Tuhan!
Terjadi perdarahan hebat sehingga aku harus diangkut ke rumah sakit.
Buntutnya, aku dikenai pasal 346 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 4
tahun. Dan hakim mengetukkan palunya, penjara 2 tahun untukku, alias
setahun lebih ringan dibanding vonis untuk Bu Bidan yang dijerat pasal
348 KUHP itu. Aku pun meringkuk di penjara wanita Surabaya. Orang tuaku
di desa shocked mendengar semua itu.
Keluar dari penjara, aku
ingin mengubur dalam-dalam masa laluku yang kelam. Kutinggalkan Surabaya
untuk mengadu nasib ke Jakarta, di mana tak ada orang yang mengetahui
jati diriku yang sebenarnya. Lembaran baru hidupku kubuka. Aku sempat
keleleran sebelum akhirnya diterima bekerja pada sebuah rumah biliar.
Di
tempat ini aku bersinggungan dengan banyak lelaki. Namun, aku takut
untuk jatuh cinta lagi, dan tak punya rasa percaya diri untuk dicintai.
Setelah sempat pindah kerja sebagai lady escort di karaoke, aku diterima
menjadi kasir di toko buku pada sebuah mal. Tujuanku jelas, untuk
menghindari tangan-tangan jail lelaki. Kurasakan pekerjaan baruku ini
lebih terhormat, meski aku tetap melamar ke sana-sini untuk bisa bekerja
di kantoran.
Di toko buku itulah, pada suatu hari, secara
kebetulan, aku bertemu dengan Mas Aris yang lagi belanja. Ia bertanya
banyak tentang diriku. Aku menjawab apa yang merasa perlu kujawab, dan
merahasiakan apa yang merasa perlu kurahasiakan. Aku yakin, ia juga
berbuat hal yang sama untuk semua pertanyaanku.
“Pasti kamu pegawai
baru di toko ini, ‘kan?” kata Mas Aris. “Aku tahu karena aku pelanggan
tetap di sini, Kin. Kamu betah kerja di sini?”
“Kenapa nggak? Pekerjaan ini halal, Mas.”
“Baguslah,”
jawabnya. “Tapi, bagaimana kalau kamu bekerja saja di kantorku? Mungkin
aku bisa bantu karena kebetulan saat ini perusahaan kami lagi perlu
karyawan baru.”
Begitulah, sehingga kemudian aku diterima jadi karyawati di tempat Mas Aris bekerja.
* * *
Beberapa
bulan setelah Mas Aris mengundurkan diri dari kantor kami, aku bertemu
dengannya di toko buku yang sama. Jelas bukan kebetulan. Aku sengaja
mencarinya dengan datang ke toko langganannya ini sedikitnya tiga kali
dalam seminggu. Entah pada kedatanganku yang keberapa, petang ini aku
berhasil.
Ia kaget ketika kutepuk bahunya dari belakang.
Sepertinya ia tidak siap dengan pertemuan ini. Mas Aris jadi demikian
gugup. Setelah bertegur sapa, ia berusaha menghindar. Tapi, aku tak mau
membiarkannya pergi. Kutangkap lengannya dan kupegang kuat-kuat.
“Mas Aris, kok, kurusan?”
“Ya. Kamu juga kurus, lho, Kin,” jawabnya.
Mas
Aris entah menjadi orang keberapa yang mengatakan aku sekarang kurus.
Ingin kukatakan bahwa kurusnya tubuhku tak lain akibat memikirkannya
setiap hari. Kutarik lengan Mas Aris dan kubawa ia masuk kafe yang ada
di mal ini. Dengan ketegaran yang kupaksakan, kutatap wajahnya
dalam-dalam.
“Tolong jawab pertanyaanku, Mas. Kenapa Mas Aris pergi begitu saja?”
Ia
balas menatapku. Matanya masih tetap teduh dan menusuk hati. Ia angkat
gelas minumannya. Sejenak jari-jemarinya bermain di permukaan gelas. Ia
menghela napas berat, lalu berkata, “Kinanti, setelah kamu tolak
cintaku, jujur saja, aku tak punya kekuatan untuk setiap hari bertemu
denganmu. Daripada jiwaku makin tersiksa, pergi adalah pilihan terbaik
bagiku. Semoga jawabanku ini bisa memuaskanmu.”
“Tapi, kenapa Mas Aris tidak memberiku kesempatan bertemu sekali saja?”
“Untuk apa?”
“Yaah, mungkin untuk bertanya apa alasanku nggak bisa menerima cinta Mas Aris.”
“Yang kubutuhkan cintamu, Kinan. Bukan alasanmu!”
“Jadi, Mas Aris nggak ingin tahu kenapa aku nggak bisa menerima?” kejarku.
Ia
mengapungkan senyum. Apa arti senyum itu, aku tak tahu. Tanpa diminta
aku pun menjelaskan bahwa diriku tak pantas menerima cintanya yang agung
itu. Dan, sederet masa silamku yang hitam, kuungkapkan kepadanya. Aku
yakin ia akan kaget mendengar kisah hidupku itu. Tapi… aku keliru. Mas
Aris hanya menatapku hampa, tanpa aksi dan reaksi. Aku terdiam
kelelahan, seakan-akan seluruh energiku terserap habis karenanya.
“Aku
sudah mendengar semuanya, Kinan,” ucapnya, datar. “Lestari, adikmu,
sudah cerita ketika aku pulang kampung untuk ziarah ke makam orang
tuaku.”
Ya, Tuhan! Justru aku yang sekarang dibuatnya kaget.
“Semua sudah kupertimbangkan. Tapi, toh, kamu menolak juga,” lanjutnya.
“Tapi… tapi… maukah Mas Aris memberiku kesempatan lagi?”
“Ada
hal yang perlu kamu ketahui, Kinan. Usiaku sudah kepala tiga, bukan
masanya lagi untuk mencari pacar. Yang kubutuhkan adalah calon istri.
Andaikata tempo hari kamu menerimaku, bulan berikutnya kita menikah.”
Dalam
perjalanan pulang dari mal, kugenggam erat telapak tangan Mas Aris,
tak ingin kulepas lagi. Kesempatan telah datang untuk kedua kali.
Nadjib Kartapati Z.
Sumber dari : Majalah Femina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar