Minggu, 30 Januari 2011

Ketika Roda Berputar




      Wajah kuyu, mata layu, pikiran kusut, semuanya serba buntu. Rasanya dunia begitu sempit. Kenapa masalah itu belum juga teratasi dari generesi ke generasi? Kemiskinan seperti lingkaran setan, yang tak berkesudahan. Lalu bagaimana cara mengatasinya?
      Tamrin masih terpaku, tak bisa bergerak dari tempat duduknya.  Akankah nasib anak-anaknya sama seperti nasib dirinya, yang punya kecerdasan tapi dropped out karena mahaknya biaya  pendidikan dengan segala tetek bengeknya? Sungguh ia tidak ingin gagal menghantarkan buah hatinya agar berpendidikan cukup, bahkan sampai pendidikan tinggi kalau bisa.
      Dalam hal kecerdasan, anaknya memang luar biasa. Semangat belajarnya juga sangat tinggi. Dan putrinya itupun tidak pernah punya perasaan rendah diri.
     Tamrin bersyukur.sekolah menengah dilalui putrinya dengan mulus. Allah SWT memberikan kemudahan dengan beasiswa yang didapat putrinya.Sungguh, tanpa kemudahan itu, Tamrin akan pontang panting dalam mencukupi kebutuhan minimal tiga anak dan istrinya.
     Laki-laki yang tinggal di Depok itu bekerja di Jakarta dengan penghasilan pas-pasan. Untuk kebutuhan hidup minimal, ia bisa mengatasi. Tapi ketika harus memenuhi obsesinya agar anak-anaknya selesai pendidikan tinggi, sungguh tu merupakan ujian yang sangat berat,
   Watu terus berlalu, dan batas pembayaran itu semakin dekat. "Lima belas juta rupiah," kembali ia mengeja, Ia sunguh bingung mengapa masuk perguruan tinggi negeri  harus semahal itu, Akses bagi orang tak punya semakin tertutup, padahal pendidikan itu satu-satunya harapan. Kalau hanya mereka yang punya uang yang bisa menikmati pendidikan, sungguh celakalah negeri ini. 
     Begitu banyak anak bangsa yang potensial mundur teratur ketika institusi pendidikan lebih mengedepankan jumlah rupiah dan berloma-lomba berhitung meluluskan mereka yang punya fulus banyak.
     Isterinya mengingatkan agar tetap berpijak di bumi. Dua anaknya juga perlu biaya, karena sudah SMA dan SMP. Mereka masih beruntung, karena rumah mereka tidak mengontrak dan kelulusan anaknya tidak bersamaan. Si sulung diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi lewat jalur penelusuran minat dan kemampuan, adiknya naik kelas, dan si bungsu juga naik kelas.
     Tapi sebagai kepala keluarga Tamrin merasa bertanggung jawab untuk mewujudkan impian putrinya. Dan bukankah sudah bertahun-tahun ia membangun semangat,  kekuatan hati, doa dan permohonan agar apa yang menjadi cita-cita putrinya menjadi kenyataan? Dan kini tinggal satu langkah lagi. Ia tak ingin cengeng menghadapi kenyataan hidup, karena hal itu tidak akan mengubah apapun.
     Tamrin tahu, hidup adalah sebuah realitas, dan setiap penyelesaian persoalan hidup harus menempuh tahapan-tahapan yang konkret. Namun berbagai cara yang muncul dibenaknya untuk mendapatkan uang pendaftaran anaknya, semuanya mentah pada keputusan : tidak mungkin. Ia sudah tidak mau berutang, karena beberapa utangnya belum lunas.
     Sebenarnya Tamrin punya andalan. Ia seorang pencinta shalat malam, baginya shalat malam adalah kenikmatan yang tiada tara. Dan selama ini bukanlah hidupnya sering tertolong dengan cara-cara yang ajaib, ia merasakan itu. Tapi ia melakukan semua itu sebagai refleksi pengabdian dan kecintaan kepada Yang memberikannya kehidupan. Bahwa setiap manusia mempunyai persoalan hidup, iya.  Tapi manusia diberi akal agal berusaha mengatasinya dan diberi berbagai perangkat agar keluar sebagai pemenang.
     Namun setiap menghadapi kebutuhan hidup yang konkret dan direpresentasikan dengan uang, ia sering kelimpungan. Dan ia tahu batas kerja keras dan usaha manusia. Maka semuanya ia kembalikan kepada Allah SWT. Bukankah agama mengajarkan, setiap hamba boleh meminta dan berdoa agar semua masalah terselesaikan dan hajatnya terpenuhi? Ia ingat hanya shalatlah jalan keluarnya. Shalat Hajat! Dengan shalat malam dan shalat Hajat, ia mengetuk pintu vertikal.
     Allah tentu punya cara tersendiri untuk memelihara setiap makhluk ciptaan-Nya,. Setiap manusia tidak ada yang luput dari perhatianan-Nya. Jadi jangan pernah berhenti berharap untuk sesuatu kebaikan yang diperjuangkan.
     Ada seorang teman kantor Tamrin yang memperhatikannya dengan seksama. Temannya itu melihat Tamrin agak kehilangan ketenangannya akhir-akhir ini dan  di wajah Tamrin terlihat ada gurat kegundahan.
     Temanya, Sudarto namanya mempunyai kerabat yang bekerja di Dompet Dhuafa Republika, sebuah lembaga nirbala yang salah satu tujuannya meringankan beban pendidikan anak-anak berprestasi yang orang tuanya tidak mampu.
     Tiba-tiba saja beberapa hari kemudian Sudarto membawa formulir untuk diisi dan beberapa relawan nanti akan mendatangi rumah Tamrin.
     "Saya tidak tahu dari mana kamu dapat info tentang anakku?" ujar Tamrin dengan mata berkaca kepada Sudarto.
     "Setiap tahun ajaran baru kita sudah bisa menduga orang-orang yang bermasalah biasanya memikirkan kelanjutan pendidikan buat buah hati mereka. Dan untuk memastikannya kan mudah sekali, kami menghubungi rumahmu dan bebicara dengan orang rumah. Sederhana, kan?" jawab Sudarto.
     Tamrin takjub dengan kepedulian temannya itu, tapi ia yakin itu tentu ada yang mengggerakkan. Lantaran doanya. Iya.,, doa-doanya!
     Lembaga yang peduli dengan pendidikan anak bangsa itu memberikan solusi. Dan malah lebih dari itu, bea siswa akan diberikan untuk tahun pertama, setelah itu akan dievalusi. Tanpa ikatan, semuanya mardhatillah. Ini adalah bentuk kepedulian setiap mereka yang berpunya untuk menghimpun dana dan dikelola oleh lembaga yan kredibel dengant ujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang mereka yakin bahwa jalannya hanyalah melalui pendidikan.
     Tamrin melihat, walau tantangan masih berat, roda sudah mulai berputar. Sungguh sangat ia syukuri. Dalam doa-doanya Tamrin berharap, semoga Allah SWT memutus lingkaran kemiskinan mereka dan menempatkan keluarganya pada tempat yang layak.***

(Diambil dari Majalah ALKISAH)
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar