Aku menjadi ibu pada tahun 1965 ketika menikah dengan seorang pria yang sudah memegang hak asuh tiga anak perempuan, berusia tujuh, lima dan tiga tahun. Orang-orang sering menanyakan kepadaku, "Bagaimana aku bisa menangani semuanya?"
Aku mesti tertawa geli sewaktu mereka bertanya karena aku benar-benar terlalu sibuk dan terlalu asyik menikmati masa pengantin baru untuk memikirkan bagaimana aku melakukannya.. ya dijalani saja! Aku ingat bahwa semuanya tidak selalu mudah, tetapi aku berusaha mati-matian dengan segala dayaku karena aku mencintai ayah mereka dengan sepenuh hatiku. Aku mencapai usia 21 tahun hanya dua minggu setelah pernikahanku, dan aku masih muda dan penuh dengan energi optimisme.
Ketiga anak perempuan tiriku itu sungguh membutuhkan lingkungan keluarga yang stabil pada waktu itu, dan mereka bersikap terbuka serta menerima peran dan cintaku sebagai ibu mereka. Ada beberapa situasi yang sulit untuk diatasi, karena mereka masih harus membiasakan diri dengan orang baru di rumah itu. Mereka juga sedang menghadapi berbagai masalah emosi yang berkaitan dengan kunjungan sesekali ibu mereka. Ibu mereka itu akan selalu jadi ibu bagi mereka dan menjadi bagian dari hidup mereka. Aku takjub akan cara mereka mencerna semua itu dalam pikiran-pikiran mereka sebagai kanak-kanak dan masih harus pula menerimaku sebgai pengasuh mereka yang baru. Aku terpikir akan ungkapan, "Cinta dapat memulihkan apapun."
Segera saja, aku benar-benar bisa merasakan cinta dan penerimaan mereka, dan itu menjadikan tugasku sebagai orangtua menjadi lebih mudah. Namun, ketika aku sendiri tengah menantikan kelahiran bayiku, aku bertanya-tanya bagaimana perasaanku setelah aku melahirkan nanti. Apakah aku akan masih merasakan yang sama dalam melayani mereka sebagai ibu setiap harinya? Apakah aku akan menikmati statusku sebagai ibu tiri mereka, atau barangkali akan menyesali harus bekerja ekstra untuk mengasuh anak-anak perempuan itu seperti yang mereka tuntut?
Putra kami, Stephen Vincent, lahir 10 Oktober 1967. Dia adalah cucu lelaki pertama dalam keluarga di pihak suamiku, dan kedua kakek neneknya amat bersuka cita. Suamiku akhirnya punya anak lelaki, dan peristiwa itu merupakan kejadian yang menggembirakan bagi kami semua.
Aku ingat masa berada di rumah sakit setelah kelahiran anak lelakiku, dan mengenang saat-saat aku pertama kali memandang wajahnya yang mungil rebah disebelahku. Cinta yang memenuhi hatiku tak terlukiskan dengan kata-kata. Aku tak sabar untuk mendekapnya. Sekarang akhirnya aku jadi ibu juga!
Namun pikiranku berikutnya adalah: , "Eh.aku sudah manjadi ibu!"
Air mata merebak di mataku, begitu kurasakan cinta seakan mengembang didalam dada dan batinku. Aku rindu gadis-gadis itu! Aku menangis karena ingin bertemu mereka, memeluk mereka, dan mempertemukan mereka dengan adik bayi lelaki mereka. Itulah hal pertama yang kusampaikan kepada suamiku ketika dia memasuki ruang perawatanku.
"Bisakah kau membawa anak-anak kemari?"
Pada tahun 1967 itu, pihak rumah sakit tidak mengijinkan anak-anak memasuki ruang persalinan yang dipenuhi bayi-bayi. Aku yakin harus menunggu dulu sampai aku keluar dari rumah sakit untuk menjumpai mereka. Namun suamiku punya ide.
"Aku bisa membawa mereka ke rumah sakit, dan kau bisa melongok dari jendela untuk melihat mereka. Kami akan berada di lapangan rumput sebelah sana."
Siang harinya, aku pun melongokkan kepada di jendela rumah sakit dan melihat mereka sedang bersama ayah mereka di lapangan rumput. Aku ingat dengan sangat jelas! Rambut pirang mereka mengkilap, dan wajah-wajah mereka yang gembira terangkat saat mereka melambaikan tangan-tangan mungil mereka ke arahku. Itu merupakan saat yang sangat penting dalam hidupku ketika mendefinisikan keluargaku --- tiga anak perempuan kami dan seorang bayi lelaki kami yang baru lahir. Kurasakan cinta kembali melandaku, dan seiring air mata kegembiraanku yang makin deras keluar, aku merasa takjub sendiri betapa dalam emosi yang kurasakan. Anak lelakiku yang baru lahir memang anak kandungku, tetapi aku sadar akan kenyataan bahwa sebelumnya aku sudah merasakan anugerah kenikmatan perasaan sebagai ibu.
Ada banyak tantangan selama tahun-tahun berikutnya ketika kami menambah dua anak lagi kedalam keluarga kami. Namun aku tak ingin menukar satu momen pun dengan apapun yang ada didunia ini! Pada suatu masa diantara masa-masa yang amat sulit mengadapi ketiga daraku itu, akau akan mengenang hari ketika aku memandang mereka dari jendela rumah sakit dan menyadari betapa cintanya aku kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar