Sabtu, 02 April 2011

Menyayangi Orang yang Menzhalimi

      Siang hari di sebuah restoran. "Rasanya saya kenal dengan Bapak," kata Bayu, seorang anak muda, kepada lawan bicaranya, sambil mengernyitkan kening. Bayu tampak berpikir keras mengingat-ingat siapa sebenarnya orang yang ada di depannya itu. Terasa kenal tapi kok sulit menerka siapa pastinya.

     Ya, kala itu mereka berdua sebenarnya sedang dalam pembicaraan serius mewakili perusahaan masing-masing yang terlibat utang piutang. Tetapi pembicaraan itu agaknya menemui jalan buntu, meski waktu makan siang telah lewat satu jam sehingga harus dihentikan sejenak.
     Bayu merasa kenal dengan pria separuh baya itu, bahkan merasa sangat dekat. Dan dia yakin akan hal itu. Namun, otaknya tak berhasil menemukan jawabnya.
     Dengan sikap orang yang lebih tua, lawan bicara Bayi itu menyunggingkan senyum kezic. Dia singkirkan sejenak deadlock pembicaraan soal utang piutang perusaaahn itu. "Maaf, kalau begitu benar dugaan saya bahwa Anda adalah Bayu, anak Bapak Arta Kumara yang tinggal di Temanggung sekian puluh tahun lalu."
     Mendengar perkataan itu, Bayu terperanjat. "Darimana dia tahu asal usul saya?" kira-kira begitulah pikirnya dalam hati. "Maaf, kalau begitu siapa sebenarnya Bapak?" tanya Bayu masih dengan pikiran simpang siur.
      ''Dulu, orang tua Anda mengenal saya, dengan nama Udin," ujar Zainuddin, nama orang itu. "Saya adalah pembantu di rumah Anda. Ketika itu Anda berumur tujuh tahun dan masih kelas satu SD. Karena dianggap bersalah, saya diusir oleh orangtua Anda. Sejak itu saya berusaha ke sana kemari, hingga menjadi seperti yang Anda lihat sekarang ini."
     "Mang Udin," demikian reaksi Bayu begitu mengetahui identitas Zainuddin.
     Tidak cukup hanya dipersalahkan, tapi Udin juga tidak diberi uang saku, upahnya ditahan. Malah untuk makan saja Udin tidak diperbolehkan. Ayahnya memang temperamental;  kalau senang kadang berlebihan, tapi kalau benci juga sangat kelihatan. Sudah sering ibunya mengingatkan bahwa sifat seperti itu tidak baik, karena akan menyulitkan diri sendiri nantinya.
    Akhirnya Udin diusir dari rumah walau anggota keluarga lainnya sangat menyayanginya. Kalau ayahnya sudah punya mau, tidak ada yang bisa mencegah. Padahal dulunya ayahnya sangat sayang kepada Udin, sampai disekolahkan segala. Tapi kalau sudah tidak suka, juga tidak main-main.

    Potongan peristiwa demi peristiwa itu tergambar jelas di depan mata Bayu hingga wajahnya merah dan keringat dingin meleleh di sekujur badannya. Bayu segera menubruk badan Zainuddin untuk memuntahkan penyesalannya. Dipundak lelaki itu, Bayu terisak melepas kegundahan dan penyesalannya.
     "Mang Udin, eh maaf Pak Zainuddin, maafkna saya dan bapak saya...Bapak saya memang orangnya keras dan sulit untuk diberi masukan," ujar Bayu sambil menyeka air matanya.
    Bayu lalu bercerita bahwa beberapa tahun-tahun kemudian setelah peristiwa itu ayahnya menimggal dunia karena menderita stroke,. Sebelum wafat, ayahnya mengatakan menyesal telah mengusir Udin, yang bearkibat menurunya prestasi anaknya. "Beliau mengakui, bagaimana pun Mang Udin tidak sekedar pembantu, melainkan orang kepercayaan yang mengurus rumah tangga dan anak tunggalnya, yang masih kecil," kata Bayu yang ditumpahkan kepada lawan bicaranya itu.
     Setiap pagi Udin memperdiapkan dan mengantar Bayu ke sekolah, siang hari menemaninya bermain, dan malam hari membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Tugas itu telah dilakoninya sejak Bayu masih bayi. Majikannya pun puas atas hasil kerjanya, maka dia menyekolahkan Udin hingga hampir lulus SMA. Maksudnya, meski berstatus pembantu, punya kelebihan.
     Namun entah kenapa, hari itu ketika kucing kesayangan ditemukan mati di halaman belakang rumah, Pak Kumara seperti kesetanan dan kehiangan kontrol  sehingga tega mengusir Udin.
    Sepeninggal Mang Udin, Bayu juga menjadi sasaran amarah ayahnya, karena pretasinya di sekolah menurun drastis. Nilainya sekedar cukup untuk naik kelas, berbeda sekali dengan saat ketika Udin masih ada.
     "Sudahlah, jangan sedih seperti ini," kata Zaiuniddin sambil menepuk bahu Bayu. "Saya dapat memahami perasaanmu...."
     Rupanya, sejak diusir dari Temanggung, Zainuddin berhasil menyelsaikan pendidikan SMA-nya. Setelah itu, dia yang sudah yatim, terpaksa meninggalkan ibunya dan hijrah ke Jakarta.
     Di belantara ibu kta, Zainuddin bisa mendapatkan pekrjaan Semangat belajarnya pun tidak pernah luntur, sore hari dia mengambil kuliah dan akhirnyaberhasil menyelesaikan kuliah itu.

     Setelah lulus, dia mendapat kepercayaan menangani keuangan perusahaan tempatnya bekerja, yang pada gilirannya mempertemukannya dengan Bayu, majikan kecilnya dulu yang telah dia anggap sebagai adik sendiri.
     Dai juga tidak pernah manaruh dendam kepada Pak Kuamra. Sebaik-baik manusia adalah yang mampu memberi maaf dan kemudian berbuat baik kepada orang yang penrnah menzhalimi dan menyakiti hati. Itu sering didengarnya setiap pengajian yang rutin diikutinya Udin juga teribat dengan firman Allah dalam surah Asy-Sura, "Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya perbuatan demikian itu termasuk yang diutamakannya."
     Sikapnya yang tulus dan keluar dari lubuk yang terdalam itu menimbulkan respek di kalangan kolega dan relasinya.
     Bagi Bayu sendiri, dia seperti menemukan kembali mutiara yang pernah hilang. Hubungnannya dengan Mang Udin bukan hanya sekedar hubungan yang mewakili perusahaan tempat mereka masing-masing bekerja. Melainkan lebih dari itu, hubungan bathin yang didasari atas keridhaan Ilahi Rabbi.***


Sumber dari : Majalah Alkisah No. 1/VIII/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar